Pada tahun 2040, jumlah penduduk
usia produktif Indonesia diprediksi mencapai angka 60% dari jumlah penduduk
keseluruhan. Jangan terjadi sifat produktif itu hanya melekat pada
usia,sedangkan dari sisi sumber daya menjadi beban yang justru menjadi
malapetaka bagi bangsa.
Demikian
disampaikan Rektor Univesitas Pendidikan Indonesia Bandung Sunaryo Kartadinata
saat menyampaikan pemaparan pada Lokakarya Kajian Sistem Ketatanegaraaan
Indonesia ; Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Bandung, Selasa
(12/11/2013). Kegiatan yang diselenggarakan Majelis Permusyawaratan Perwakilan
Republik Indonesia dan UPI itu juga dihadiri wakil ketua MPR Lukman Hakim
Syaifudin.
Menurut
Sunaryo, berbagai pihak harus mengantisipasi agar ledakan jumlah penduduk usia
produktif benar-benar menjadi bonus demogratif. “Kuncinya adalah kecakapan
untuk memuliakan bangsa. Harus ada perubahan mendasar dari kultur dan pola
pendidikan masyarakat. Mereka tidak lagi berposisi sebagai instrument, tetapi
benar benar subjek. “ kata Sunaryo.
Ia
mengungkapkan, pendidikan menjadi kunci penting pembentukan kembali karakter
bangsa. Ke depan, guru atau pendidik harus benar – benar menjadi sosok the
whole learner. “Seorang pendidik yang memahami secara holistik materi-materi
pembelajaran. Ini tantangan bagi guru dan lembaga pendidikan guru untuk menjaga
agar pendidikan karakter,soft skill, dan aspek terkait tidak berjalan dikotomis
dengan proses pendidikan itu sendiri”. katanya.
Pendidikan
karakter harus menjadi system pembelajaran yang utuh dan berkelanjutan. Harus
ditegaskan kembali, pendidikan jangan berorientasi dengan hasil, tetapi proses.
Sebab, karakter tidak bisa dibentuk secara instan, melainkan proses
internalisasi nilai-nilai yang berproses secara
berkelanjutan . Harus ada proses yang tidak bisa didangkalkan.”ujarnya.
Lukman
Hakim Syafiudin mengatakan, saat ini bangsa secara keseluruhan merasa sama-sama
kehilangan Pancasila. Satu hal penting yang menjadi acuan bersama dalam
menjalani kehidupan berbangsa dalam kondisi sangat majemuk dari berbagai aspek.
Berbagai
inkonsistensi kehidupan berbangsa dari nilai-nilai bersama dalam Pancasila
selama rezim pemerintahan Orde baru,kata dia, membuat sebagai kalangan
Pancasila diidentikan dengan rezim atau penguasa. “Padahal, nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya sangat luar biasa dalam merekatkan spirit kebangsaan
dalam kemajemukan hidup berbangsa kita saat ini dan masa mendatang,”ujarnya.
Saat
ini, diakui Lukman, tidak ada lembaga yang secara formal bertugas menyamakan
kembali nilai-nilai acuan bersama kehidupan berbangsa itu.
Sumber : Pikiran Rakyat ( Rabu 13 November 2013)
0 komentar:
Posting Komentar