Mendapatkan bensin di Kabupaten Raja Ampat rupanya tidak mudah. Kalau pun
ada, harganya relatif mahal.
"Di sini bensin kami beli Rp 15 ribu seliter. Bandingkan dengan di
Makassar, hanya Rp 4.500 per liter," ujar Ahmad Hidayat yang ditemui di
Penginapan Phuyakha Mengge, Jumat (22/11/2013) malam.
Penginapan Phuyakha Mengge ini berada di Waisai, ibu kota Kabupaten Raja
Ampat. Ahmad adalah sarjana lulusan Universitas Negeri Makassar (UNM) yang
sejak beberapa bulan terakhir mengajar di SMA Negeri 1 Waisai.
Ahmad juga adalah satu dari lebih 30 penerima beasiswa dari Kemendikbud RI
pada program sarjana mendidik di wilayah terluar, terpencil, dan terbelakang
yang ditempatkan di Kabupaten Raja Ampat.
Selain bensin, makan minum dan sewa kos di Waisai, pun mahal. Harga makan
nasi dengan lauk pauk berupa ikan masak harganya paling murah Rp 15 ribu
sepiring. Kalau makan nasi dengan lauk pauk ayam, harganya paling murah Rp 20
ribu. Kadang Rp 25 ribu sepiring.
"Ini pun harga makan di warung-warung rumahan. Kalau kita makan di
rumah makan milik penginapan atau resort, harganya melambung tinggi,"
tambah Ahmad yang pernah mengajar di SMA Islam Athirah di Makassar ini.
Bagaimana harga kamar kos di Waisai? Sama halnya dengan biaya makan, Ahmad
harus mengeluarkan uang lebih banyak kerimbang sewa kamar kos di Kota Makassar.
"Di Waisai, saya biaya kamar kos saya sampai Rp 750 ribu sebulan. Itu
pun rumah warga dengan dinding kayu beralas semen biasa. Tak ada fasilitas
tambahan semacam kipas angin apalagi AC," tutur Ahmad lagi.
Padahal jika di Makassar, katanya, dengan harga Rp 500 ribu sebulan, ia bisa
mendapati kamar kos di dekat kampus yang dilengkapi pendingin udara dan
televisi serta kasur empuk.
Makanya kata Ahmad, selama hidup di Raja Ampat, sarjana geografi ini harus
irit. Maklum beasiswa dari pemerintah yang diperolehnya selama mengajar di Raja
Ampat hanya Rp 2,5 juta sebulan.
"Kalau di Makassar, Rp 2,5 juta sebulan sudah aman kita. Tapi di Raja
Ampat, uang Rp 2,5 juta itu sangat sedikit. Jadi di sini kami benar-benar
mengabdi," tuturnya.
Untunglah katanya, harga minyak tanah di Waisai relatif murah, Rp 4.500
seliter. Ia pun menggunakan minyak tanah untuk memasak air dan nasi.
Walau demikian, tegas Ahmad, sedikit pun tak ada rasa menyesal ditempatkan
di Waisai untuk mengajar. Ia pun mengakui, masih beruntung mengajar di Waisai.
Pasalnya di Waisai, daerahnya mulai berkembang. Pemukiman warga umumnya
telah diterangi listrik oleh PLN. Kendaraan bermotor pun sudah ramai.
Sedangkan beberapa teman Ahmad yang ditempatkan mengajar di pulau-pulau lain
yang masih wilayah Raja Ampat, lebih 'keras' tantangan kehidupannya. Karena di
beberapa pulau tersebut belum diterangi listrik.
"Tapi kami semua bangga masih bisa memberi
sebagian masa hidup kami untuk mengajar anak-anak di pulau-pulau terpencil,
terluar, dan terbelakang dari Indonesia," ucapnya dengan nada bersemangat.
Menurut analisa saya bahwa seharusnya pemerintah harus lebih memperhatikan daerah daerah terpencil dalam segala hal karena mahalnya suatu harga pada suatu barang itu tergantung juga terhadap ketersedian barang tersebut di daerah yang itu, dengan membaca artikel di atas dapat di artikan bahwa sebenarnya harga bensin tidak semua merata di semua daerah di karenakan daerah tersebut juga sulit dalam mendapatkan pasokan dari pemerintah sehingga memunculkan harga yang cukup mahal dalam hal penjualan barang yang memang di daerah tersebut langka.
Referensi :
0 komentar:
Posting Komentar