Pemerintah menargetkan tahun ini bakal menaikkan harga bahan
bakar minyak bersubsidi. Saat ini, karena sejumlah partai masih menolak rencana
itu, pemerintah masih harus meyakinkan DPR agar setuju.
Namun biarlah itu menjadi urusan para pengelola negara. Bagi kita, yang penting adalah menyiasati bagaimana kenaikan harga tersebut tidak membuat cekak alias kantong menjadi defisit.
Pemerintah dan Bank Indonesia sepakat, kenaikan harga BBM bersubsidi akan menaikkan inflasi atau laju kenaikan harga. Dengan kata lain, daya beli kita jadi menurun sebab uang yang kita punya pun berkurang nilainya.
Dalam perkiraan pemerintah, inflasi tahun ini bisa mencapai 7,2 persen. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebelum perubahan, asumsi inflasi ditetapkan 4,9 persen.
Sementara Bank Indonesia punya hitungan sendiri. Seperti pernah disampaikan Gubernur BI Agus Martowardojo, inflasi setelah kenaikan harga BBM bisa mencapai 7,76 persen. Lalu apa urusannya dengan kantong kita?
Sederhana saja. Nilai uang kita yang berada di tabungan bakal menurun.
Saat ini, Lembaga Penjamin Simpanan atau LPS menetapkan suku bunga tabungan yang dijamin hanya 5,5 persen untuk rupiah — walaupun di lapangan, bank kerap memberikan ke nasabah di bawah itu. Kalau nasabah dapat bunga lebih dari patokan tersebut, kemudian ada masalah pada perbankan sehingga uangnya hilang, maka LPS tidak akan mengganti. Jumlah yang diganti pun dibatasi maksimum Rp2 miliar.
Suku bunga penjaminan itu berlaku untuk periode Mei-September 2013. Artinya, ada kemungkinan naik maupun turun.
Bayangkan, tingkat pengembalian tabungan — termasuk deposito — yang bisa diterima nasabah jauh di bawah inflasi. Ini berarti, uang yang disimpan pada instrumen tabungan, nilainya bakal turun pada kurun waktu tertentu.
Berikut ini contoh yang lebih mudah dimengerti. Andai kata Anda punya tabungan Rp5 juta untuk modal nikah lima tahun mendatang. Katakanlah, Anda mendapat bunga maksimum 5,5 persen. Saat hari bahagia itu datang, uang modal menikah ingin digunakan, nilainya malah berkurang. Sebab, total penambahan dari suku bunga harus disesuaikan dengan inflasi yang lebih besar dari tingkat pengembalian tabungan.
Dengan asumsi di atas, perkiraannya tergerus hampir Rp500.000 dalam lima tahun. Walaupun saat dicairkan nominalnya terlihat lebih besar dari saat menabung. Namun daya belinya lebih rendah. Karena itu, mau tidak mau Anda harus keluar uang lebih banyak lagi untuk menutupi kekurangan.
Karena itu, tabungan makin tidak rasional. Suku bunganya terlalu kecil, jauh di bawah tingkat inflasi. Makin tinggi inflasi, makin besar potensi berkurangnya daya beli uang kita. Mungkin menjadi pilihan arif, seandainya uang dalam tabungan hanya untuk dana darurat, karena bisa dicairkan (lewat ATM) kapan pun.
Nah, dalam situasi seperti ini, investasi bisa jadi solusi bijak demi mengamankan aset. Atau, Anda harus cermat dalam melihat suku bunga yang bisa melindungi nilai uang akibat tergerus laju kenaikan harga atau inflasi.
Walaupun tentu saja, investasi atau jenis instrumen selain tabungan yang bisa memberikan lindung nilai semacam emas, tidak memiliki perlindungan seperti tabungan. Dengan begitu, jika ada musibah seperti kehilangan, ya amblas.
Dalam investasi, bukan hanya ada potensi untung, tetapi juga ada risiko rugi. Namun sekarang, banyak instrumen investasi yang lebih konservatif, seperti reksadana. Walaupun tidak menjanjikan keuntungan besar, namun setidaknya bisa mengimbangi inflasi.
Karena itu, jangan abaikan pengumuman inflasi pemerintah. Hal tersebut, yang salah satunya dipicu oleh kenaikan BBM, merupakan ancaman bagi kantong kita.
Menurut saya dengan kebijakan pemerintah seperti yang artikel di atas bukan tidak mungkin seluruh warga negara indonesia akan meninggalkan tabungan yang selama ini populer di indonesia,dan seharusnya pemerintah harus pintar mensiasati agar kejadian tersebut tidak terjadi karena hampir separuhnya dana pemerintah juga mengalir dengan tabungan tersebut.
10-6-13 6.53 PM
0 komentar:
Posting Komentar